Minggu, 14 Juli 2013

Tiap Tahun Golput Cenderung Meningkat

Pemilu 2004
SUARA MERDEKA
Jumat, 5 September 2003

FENOMENA golongan putih (golput) selalu menjadi pembicaraan hangat menjelang pemilu baik di kalangan politikus maupun masyarakat biasa. Meski realitas menunjukkan jumlah golput pada tiap pemilu tidak banyak, pembicaraan masalah itu tidak surut. Bagaimana peluang golput pada Pemilu 2004?

Munculnya golput mendapat porsi tersendiri di tengah masyarakat, karena sebagai gerakan yang menyuarakan sikap politik untuk tidak mendukung partai politik. Sikap itu muncul lebih banyak karena merasa tidak puas terhadap legislatif-eksekutif. Pengertiannya, mereka secara sadar tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu karena skeptisisme terhadap pelaksanaan pemilu. Mereka menilai, pelaksanaan pemilu bukan hanya tidak demokratis melainkan juga menginjak-injak prinsip demokrasi.

Gerakan dari aliran sikap politik ini, ungkap Ketua FPDI-P DPR RI Tjahjo Kumolo SH, mulai muncul pada 1971 yang dipelopori Arief Budiman, Julius Usman, dan Imam Waluyo (almarhum). Pada waktu itu, jumlah golput hanya 6,60%. Jumlah itu lebih rendah dari jumlah golput pada Pemilu 1955 yang 12,34%.

Gejala atau fenomena golput dapat dilihat dari beberapa hal, seperti mereka secara sengaja tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS) atau mereka datang ke TPS tetapi dengan sengaja menusuk lebih dari satu tanda gambar pada kertas suara sehingga dinyatakan tidak sah.

"Bisa juga mereka datang dan yang ditusuk di luar tanda gambar, oleh karenanya dinyatakan tidak sah," jelas Tjahjo saat menjadi narasumber dalam Diskusi Panel "Golput pada Pemilu 2004: Ancaman dan Pencegahannya". Kegiatan tersebut diselenggarkan Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Provinsi Jawa Tengah di Universitas Wahid Hasyim Semarang (Unwahas), Rabu (4/9).

Persoalan golput tidak perlu ditakuti, karena memberikan suara dalam pemilu merupakan hak dan bukan kewajiban. Meski demikian, partai-partai di DPR RI telah mengantisipasi dengan penetapan UU Nomor 12/2003 Pasal 139 huruf a dan b. Dalam pasal itu disebutkan, ancaman pidana akan dikenakan pada orang yang dengan sengaja memengaruhi orang lain menjadi golput.

Di Perkotaan

Kelompok yang memiliki sikap politik untuk golput diperkirakan pengamat politik dari Solo MT Arifin, hanya berada di daerah perkotaan. Adapun mereka yang berada di daerah pedesaan, lebih memilih untuk tetap menyalurkan hak suaranya.

Mereka yang memilih golput disebabkan beberapa faktor, karena skeptis pada perilaku partai dan pemerintah, kecewa kepada pimpinan partai, dan ada yang tidak sengaja golput karena sistem pemilu yang membingungkan.

Untuk kelompok golput yang terakhir tidak dikhawatirkan berpengaruh signifikan, bahkan kalangan itu banyak yang ditarik ikut partai.

Terhadap fenomena golput, KPU tidak bisa berbuat banyak. Hal itu sebagaimana dikatakan salah seorang Presidium KPU Jateng, Dr Ari Pradanawati, sebagai penyelenggara pemilu tak bisa berbuat apa-apa terhadap golput. Di Amerika Serikat (AS), ada juga yang tak menggunakan haknya dalam pemilu.

Tahapan pemilu yang disusun oleh KPU sangat jelas, karena dikemas aturan UU. "Saya pikir 50% yang golput pun, tak masalah dan pemerintahan (yang terbentuk) tetap sah."

Pada proses pemilu, bila ada pelanggaran administratif maka dilaporkan ke KPU. Namun jika pelanggaran lain, kepada Panwas Pemilu.

Yang dilakukan KPU adalah menyosialisasikan agar masyarakat menggunakan hak politiknya. Namun, upaya seperti itu hak personel KPU, orang-orang di parpol juga memiliki tanggung jawab yang sama, terutama menyosialisasikan kepada konstituennya dan masyarakat.

Pada Pemilu 2004, diprediksikan angka golput akan mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Peningkatan itu ditandai dengan peningkatan jumlah masyarakat yang kecewa terhadap partai politik. Meski prediksi itu belum bisa jadi pegangan, perilaku politik dari semua partai saat ini patut jadi pertimbangan. Masyarakat melihat realitas hampir semua partai mengalami ketegangan internal. PPP dengan PBR, PKB dengan Pekade, Partai Golkar terjadi keributan internal, sama juga di PDI-P.

Kendati menghadapi realitas seperti itu, sosiologi UGM Dr Nasikun memprediksikan kenaikan angka golput tidak signifikan. Dengan mendasarkan sejarah, pada setiap pemilu jumlah golput tidak lebih dari 12,34 %. Terlebih masyarakat yang memilih golput lebih banyak di perkotaan, sedangkan masyarakat Indonesia sebagian besar masih tinggal di pedesaan. (Hasan Hamid-78j)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mamet pegang senjata

Mamet pegang senjata

FGD

FGD