Minggu, 14 Juli 2013

Dicari Jaksa Gendeng dan Hakim Sableng


SUARA MERDEKA
Senin, 02 Agustus 2004

Penuntasan Korupsi DPRD Jateng (1)

Suara Merdeka, Kamis (29/7), menyelenggarakan diskusi yang membahas penanganan dugaan kasus korupsi di DPRD Jateng. Diskusi itu menghadirkan para praktisi dan pengamat hukum, antara lain Prof Satjipto Rahardjo SH. Berikut liputan mengenai diskusi tersebut yang dilaporkan oleh Agus Toto.

SEBELUM memberikan ''kuliah'' hukumnya, Prof Satjipto Rahardjo SH mengomentari tema diskusi kali ini, yang dia terlibat sebagai salah satu pembicaranya. Dia menilai tema diskusi ambisius.

Ambisius? Bila saat itu forum berhasil menuntaskan kasus korupsi di DPRD Jateng, katanya, maka setelah pertemuan itu akan memberikan perintah atau mandat kepada jaksa untuk membawa kasus itu ke pengadilan.

Padahal, forum itu tidak berada dalam posisi yang demikian. Sejatinya, Prof Tjip, panggilan akrab Satjipto Rahardjo, ingin memberikan pencerahan atas kasus dugaan korupsi DPRD Jateng dari sudut pandang akademis. Secara umum, dia menyebutkan, kasus-kasus korupsi yang sudah demikian besar bisa menumbuhkan saling tidak percaya.

''Kalau atmosfir korupsi sudah begitu tebal, maka akan makin besar ketidakpercayaan di antara kita,'' katanya dalam kalimat yang tegas.

Diskusi itu di ruang sidang Redaksi Suara Merdeka Jl Raya Kaligawe KM 5 Semarang, Kamis (29/7). Topiknya, ''Menuntaskan Dugaan Korupsi DPRD Jateng: Belajar dari Kasus Sumatera Barat''. Sebagai pembicara, selain Prof Tjip, yakni dosen Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Petrus Suryo Winoto, Direktur LBH Padang Alvon Kurnia Palma, dan Joko J Prihatmoko dari KP2KKN. Sebagai moderator, Wapemred Suara Merdeka Amir Machmud NS. Hadir pula kalangan LSM, akademisi, pengusaha, dan wartawan.

Guru besar sosiologi hukum Undip itu seolah-olah sedang memberikan kuliah kepada mahasiswa soal teori hukum progresif untuk memburu koruptor. Penuntasan kasus korupsi tak bisa hanya dengan menjalankan aturan main. Namun butuh hati nurani dan mengubah kultur hukum liberal.

''Harus diakui, tindak pidana korupsi merupakan kasus yang rumit. Sehingga perlu dibentuk tim gabungan. Diperlukan jaksa yang gendeng, hakim yang edan, polisi yang sinting, advokat yang sableng, dan profesor provokator,'' tandasnya, disambut dengan gremengan peserta.

Bukan gendeng, edan, sinting, sableng, dan provokator dalam arti yang negatif. Pemberantasan korupsi memerlukan semua unsur terkait yang tidak hanya melulu bertumpu pada aturan hukum. Tidak hanya bicara masalah supremasi hukum, tetapi juga memobilisasi hukum.

''Peranan perilaku manusia dalam memberantas korupsi begitu penting, sebab ini bukan 'Rinso' yang bisa mencuci sendiri,'' katanya, memberikan joke segar. ''Mudah-mudahan provokasi saya ini bisa menyadarkan mereka,'' katanya, lagi-lagi disambut gremengan hadirin.

Politis dan Hukum

Dan, mobilisasi hukum itu sudah terjadi di Padang yang telah memberikan hasil. Pengungkapan kasus korupsi DPRD Sumatera Barat (Sumbar) butuh proses hingga tiga tahun.

Selama proses menunggu tindak lanjut laporan itu, Alvon dari LBH Padang mengaku menerima teror hampir setiap hari. Ada pula upaya pengalihan persoalan seperti yang terjadi di Jateng dengan kelahiran partai-partai.

Tudingan penyalahgunaan APBD Sumbar 2002 itu dipandang sebagai masalah hukum. Tetapi persoalan itu tampaknya ingin dibawa menjadi masalah politis.

''Awalnya adalah persoalan politis. Penetapan pos anggaran DPRD sebetulnya menjadi proses politik. Namun DPRD kemudian membuat payung hukum yang bernama perda. Saat masalah itu diproses hukum, mereka kembali memasukkan ke proses politik,'' ungkapnya.

Pemerhati politik dari Unika Soegijapranata Andreas Pandiangan SH mengkhawatirkan masyarakat sekarang sudah tidak peduli ada atau tidak kasus korupsi di DPRD. Dalam posisi masyarakat yang demikian itu, dia meyakini kasus korupsi makin merebak.

''Mereka akan makin leluasa menggelembungkan anggaran, karena merasa tidak dipersoalkan. Karena itu, gerakan antikorupsi mendapat tantangan yang cukup besar, apakah mereka masih sanggup untuk terus mengontrol kinerja Dewan, sekaligus mendesak kinerja aparat penegak hukum,'' tandasnya.

Sayangnya, sebelum forum tanya-jawab, Asisten Intelijen Kejati Jateng Zulkarnain SH sudah meninggalkan diskusi. Kontan saja, Direktur LBH Semarang Asep Yunan Firdaus melontarkan kekecewaan kepada kejaksaan.

''Ini menjadi salah satu bentuk ketidakpedulian dan ketidakberanian jaksa atas forum ini. Kalau institusi jaksa sudah tidak ada, saya kira forum ini sudah tidak kontroversial lagi,'' ujarnya.

Dia menuding dalam penyelesaian kasus dugaan korupsi di DPRD Jateng terjadi saling kunci antara jaksa dan koruptor. (33t)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mamet pegang senjata

Mamet pegang senjata

FGD

FGD