Rabu, 17 Juli 2013

Pilkada Ulang Pati Tak Ada Batasan Waktu


Rabu, 21 September 2011 11:00 WIB

Semarang (Solopos.com)–Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan pelaksanaan Pilkada ulang Kabupaten Pati 2011 tak ada batasan waktu sampai kapan harus dilaksanakan.

Menurut anggota KPU I Gusti Putu Artha, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tak memberikan batasan waktu kapan Pilkada ulang Pati harus dilaksanakan.

”Pelaksanaan Pilkada ulang Pati tergantung kesiapan anggaran dana dari pemerintah kebupatan (Pemkab) Pati,” katanya kepada wartawan di sela seminar nasional Pilkada Pati, Mengapa Jadi Begini ? yang digelar Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Jateng di Hotel Dafam, Kota Semarang, Selasa (20/9/2011).

Bila Pemkab Pati sudah ada dana, sambung dia, KPUD Pati bisa menggelar tahapan pemilihan kepala daerah (Pilkada) ulang, tanpa harus menunggu petunjuk teknis dari KPU.

Lebih lanjut, Putu menyatakan, sebenarnya Pemkab Pati sudah ada dana hibah Pilkada senilai Rp 9 miliar, namun belum dapat digunakan karena harus mendapatkan persetujuan dari DPRD.

”Berharap KPUD Pati, DPRD dan Pemkab Pati duduk melakukan revisi ulang mengubah nomenklatur dana hibah Rp 9 miliar agar bisa digunakan untuk menggelar Pilada ulang,” ujarnya.

Dalam pelaksanaan Pilkada ulang Pati, sambung Putu, nantinya tak ada masa kampanye. KPUD Pati hanya melakukan verifikasi ulang salah satu pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Pati, Imam Suroso-Sujoko.

Sedang untuk lima pasangan calon bupati dan wakil bupati lainnya tak dilakukan verifikasi ulang, sehingga tak boleh ada perubahan atau mengganti calon.

”Bila hasil verifikasi ulang terhadap Imam Suroso-Sujoko memenuhi syarat, peserta Pilkada ulang Pati diikuti enam pasangan calon, tapi jika pasangan calon itu tak memenuhi syarat maka ikut Pilkada ulang hanya lima pasangan calon,” paparnya.

Sementara Asisten Pemerintahan Pemprov Jateng, Siswo Laksono menyatakan terkait pencairan anggaran dana untuk pelaksanaan Pilkada ulang Pati nantinya akan ditujuk pejabat sementara (Pjs) bupati.

”Ini karena Bupati Pati Tasiman pada 27 September 2011 sudah berakhir masa jabatan, semula akan ditunjuk pelaksana harian (Plh) bupati, tapi karena Plh tak memiliki kewenangan membahas anggaran kemudian ditunjuk Pjs Bupati Pati,” jelas dia.

(oto)
Baca SelengkapnyaPilkada Ulang Pati Tak Ada Batasan Waktu

Minggu, 14 Juli 2013

''Benarkah Wartawan Itu Biang Gosip?''


SUARA MERDEKA
Senin, 28 Mei 2007 SEMARANG


SUASANA pelatihan jurnalistik dasar yang diselenggarakan Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Jateng berlangsung gayeng di Hotel Sarimarin Indah Bandungan, Sabtu-Minggu (26-27/5). Sebanyak 50 peserta dari Departemen Pers PC IPNU se-Jateng, juga antusias menyimak paparan sejumlah pemateri yang berasal dari wartawan dan redaksi beberapa media cetak. ''Benarkah wartawan itu biang gosip? Mengapa kalau mengundang wartawan harus memberi ehm..amplop?'' tanya seorang peserta berjilbab sembari tersenyum.

Pertanyaan tersebut dijawab oleh Khusnul Huda, ketua KDW. ''Wartawan itu bukan biang gosip. Namun, hanya sebagai penyampai gosip atau berita. Karena luasan audiens yang membaca berita itu, maka ada yang menyebut wartawan sebagai biang gosip,'' jelas Huda, wartawan Koran Sindo.

Tentang fenomena amplop, Ali Arifin Muhlish yang juga ketua panitia kegiatan mengatakan, tidak ada kewajiban masyarakat memberikan amplop kepada wartawan. ''Tugas wartawan adalah mencari, membuat, dan menulis berita. Berita akan dimuat atau tidak adalah kebijakan redaksi. Jadi, berita sama sekali tidak ada kaitannya dengan pemberian amplop berikut isinya. Apalagi, jika pemberian itu berkaitan dengan dimuat atau tidaknya sebuah berita. Itu jelas melanggar kode etik jurnalistik,'' jelas wartawan Suara Merdeka ini.

Peserta juga bertanya bagaimana menyikapi pernyataan off the record, sementara informasi itu mempunyai nilai berita yang tinggi. Mengenai pernyataan off the record, wartawan harus patuh dan tidak menyiarkan kepada publik. ''Pernyataan itu hanya untuk pengetahuan wartawan,'' tegas Ali.

Profesional

Pemimpin Redaksi Harian Sore Wawasan Sriyanto Saputro menekankan, wartawan harus profesional dan jeli mengkritisi persoalan yang sedang hangat dibicarakan publik. ''Apalagi, bagi yang bukan wartawan harian, harus melakukan liputan mendalam sehingga bisa disajikan laporan yang mendalam pula.''

Ia menjelaskan, bisnis media setelah reformasi sangat marak, terutama cetak. Banyaknya media cetak terkadang menimbulkan keluhan masyarakat. Masyarakat menyebut pers sudah ngawur, karena sering menghakimi dan tanpa konfirmasi.

''Ini tantangan bagi insan pers yang profesional. Maka, wartawan harus memahami kaidah-kaidah jurnalistik. Harus pula mengedepankan azas praduga tak bersalah dan konfirmasi,'' tegas Sriyanto. Selain media cetak, persaingan bisnis media elektronik juga semakin ketat. Untuk itu, koran harus bisa menyajikan sesuatu yang lebih berupa human interest, misalnya.

Pembicara lain, Isdiyanto (Kedaulatan Rakyat), Insetyonoto (Solopos), M Saronji (Suara Merdeka), Sonya HS (Kompas), dan Puguh TS (Solopos). Ketua PW IPNU Jateng M Talkhis mengatakan, akan menindaklanjuti pelatihan itu dengan membuat penerbitan berkala. (Rony Yuwono-37)
Baca Selengkapnya''Benarkah Wartawan Itu Biang Gosip?''

Pengajar SKB Luncurkan Tabloid Suara PNFI



SUARA MERDEKA
23 April 2012


SEMARANG  - Untuk menjaga eksistensi, sudah saatnya pengajar mampu menulis di media massa. Dengan begitu pemikiran pengajar bisa terasah secara terus-menerus. Demikian diungkapkan Kepala Pusat Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (P2PNFI) Regional II Semarang Dr H Ade Kusmiadi di hadapan peserta ''Workshop Jurnalistik Dasar'' di Hotel Pandanaran selama tiga hari, Rabu-Jumat (18-20/4) lalu.

Sebagai ujung tombak pendidikan di lapangan, lanjutnya, sudah banyak materi-materi atau bahan-bahan yang diserap langsung di lapangan. Apalagi banyak persoalan atau bahkan kegiatan serta pemikiran yang belum terekspos di media.

''Menulis itu bagian dari mengasah otak. Kalau pengajar tidak diasah, nantinya yang dihadapi hanya sebuah rutinitas terus-menerus. Tidak ada upaya meningkatkan eksistensinya sebagai pengajar,'' ungkap dia.

Kegiatan yang digelar oleh P2PNFI bekerja sama dengan Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Jateng itu diikuti 70 orang dari para pamong belajar dari seluruh Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) se-Jateng dan DIY. Acara dibuka oleh Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal (PAUDNI) Prof Dr Lidya Freyani Hawadi Psi.

Selain menjaga eksistensi, lanjut Ade, dengan menulis setidaknya keberadaan SKB bisa terangkat. Program-program unggulan kelompok belajar harus dipublikasikan. ''Dengan begitu orang akan tahu keberadaan SKB. masyarakat juga bisa mempercayakan anak-anaknya pada SKB,'' ucapnya.

Mediasi

Lidya menegaskan, sudah saatnya SKB melakukan mediasi dengan pemda masing-masing untuk melakukan mediasi. Melalui koordinasi dengan masing-masing pemda dalam hal ini Dinas Pendidikan, diharapkan muncul alokasi dana untuk kegiatan belajar mengajar di lingkungan SKB.

Dalam kegiatan tersebut, tampil sebagai narasumber anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Jateng Isdiyanto, wartawan senior Kompas Sonya Helen Sinombor, anggota desk Semarang Metro-Suara Merdeka Mohamad Anas, Pemred Harian Banyumas dan Harian Semarang Sriyanto Saputro, jurnalis foto Kedaulatan Rakyat Chandra Adi Nugroho.

Ketua KDW Jateng Ali Arifin menyatakan, kegiatan tersebut kerja sama yang kesekian kalinya antara KDW dengan P2PNFI. Kerja sama akan ditingkatkan lagi dalam membentuk daerah binaan di Pulau Karimunjawa, Jepara. (H37-69)

Baca SelengkapnyaPengajar SKB Luncurkan Tabloid Suara PNFI

Dewan Kaji Pengajuan Judicial Review Dua PP

SUARA MERDEKA
Selasa, 02 Nopember 2004


Aturan Itu Dinilai Terlalu Mengekang

SEMARANG- DPRD Jateng berencana melakukan kajian untuk kemungkinan pengajuan judicial review terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD, serta PP 25 tahun 2004 tentang Tata Tertib DPRD.

Kedua PP tersebut dinilainya terlalu mengekang Dewan, dan bisa berdampak pada hubungannya selama ini dengan masyarakat. Menurut Ketua DPRD Jateng Murdoko SH, keinginan melakukan judicial review itu muncul dalam rapat Panitia Musyawarah (Panmus). Pihaknya sudah membicarakan dengan Ketua Komisi A, Subyakto supaya menindaklanjutinya.

Rencananya, kata dia, dalam waktu dekat Dewan akan meminta pertimbangan pakar hukum tata negara dan administrasi negara, terutama untuk mengkaji dampak positif dan negatifnya apabila dilakukan judicial review.

''Saya berharap segera dikonsultasikan dengan para pakar. Artinya, kalau mau mengajukan judicial review jangan sampai tidak berhasil atau tanpa pertimbangan yang matang,'' kata Murdoko, ketika menerima audiensi pengurus dan anggota Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Provinsi Jateng di ruang kerjanya, kemarin.

Pengurus KDW yang hadir antara lain, Dewan Etik Isdiyanto, Ketua Muhammad Saronji, Sekretaris Ida Nur Layla, Ali Arifin Muchlis, Sunarto, Reza Taufani, dan sejumlah wartawan lainnya. Adapun Murdoko didampingi oleh anggota Dewan dari FPDI-P, Daniel Totok Indiono.

Kritik Membangun

Pada bagian lain, Murdoko menilai hubungan komunikasi para wakil rakyat dengan wartawan perlu ditingkatkan. Diakuinya ada beberapa anggota Dewan yang selalu menjauh dan menghindar jika bertemu wartawan.

Mereka berpikir jika bertemu wartawan bisa ditulis sisi jeleknya, sehingga justru menyudutkan dirinya. Selain itu, ada kekhawatiran diwawancarai wartawan "bodreks" yang selalu mengakhiri wawancara dengan memintai embel-embel tertentu.

Semestinya wakil rakyat justru dekat dengan wartawan, agar ide dan hasil kerjanya diketahui masyarakat. Utamanya dalam menjalankan fungsi-fungsi kedewanan. Dirinya meminta media massa bisa aktif memberikan masukan dan kritik membangun demi perbaikan kinerja Dewan dan kemajuan pembangunan Jateng.

''Harapan saya, lima tahun mendatang tidak ada mantan anggota Dewan yang jadi tersangka. Sebaliknya menjadi pahlawan karena memperjuangkan aspirasi rakyat.''

Sementara itu Ketua KDW Mohammad Saronji mengatakan, organisasi yang dipimpinnya memiliki komitmen mencari solusi terhadap berbagai persoalan yang mengemuka di Jateng. Karena itu, setiap kegiatan diskusi yang diadakan KDW selalu mengambil tema aktual dan strategis.

"KDW sering mengadakan diskusi dengan mengundang para pakar dan praktisi di bidangnya. Usai diskusi, dibuat rekomendasi untuk disampaikan kepada instansi atau para pihak yang berkompeten mengambil kebijakan demi akselerasi pembangunan di Jateng," katanya.(H1,G7-78)
Baca SelengkapnyaDewan Kaji Pengajuan Judicial Review Dua PP

Peserta Bercita-cita Ingin Jadi Wartawan


SUARA MERDEKA
Sabtu, 22 Oktober 2005 SEMARANG

Road Show Jurnalistik Ramadan 1426 H


MESKI hanya diberi waktu 15 menit membuat tulisan berita, 45 siswa perwakilan dari sejumlah Madrasah Aliyah (MA) se-Kabupaten Demak mampu menyelesaikannya tepat waktu. Meski materi beritanya tidak mendalam, hal itu menunjukkan apresiasi pelajar yang tinggi dalam bergelut dengan dunia jurnalistik.

Sebagai pemula, kemampuan dan kecepatan menuangkan peristiwa dalam tulisan sebagai langkah awal yang baik. Hampir semua tulisan menggunakan bentuk berita piramida terbalik, dan lead berita memenuhi unsur 5 W + 1 H. Kendati mendapat tugas peliputan yang sama, mereka mampu membuat angel beragam.

Berita hasil karya mereka itu, lantas dituangkan dalam lembaran kertas disusun layaknya sebuah majalah dinding (mading). Ya, orientasi para jurnalis pemula itu memang mengelola majalah dinding (mading) di sekolahnya masing-masing.

''Wah, ternyata nggak terlalu sulit bikin mading. Kalau kami mau, hasilnya juga lumayan. Bisa nggak ya, setelah lulus jadi wartawan,'' celetuk salah seorang peserta sambil menempelkan hasil karyanya pada kertas yang dianggap mading.

Keinginan mereka menjadi wartawan cukup tinggi. Berbagai pertanyaan yang mereka kemukakan mengarah pada bagaimana cara menjadi wartawan.

Siswa yang sebagian besar belum pernah bergelut jurnalistik itu mengikuti Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar yang digelar di MAN Demak dan MA Al Ma'ruf Kudus. Kegiatan dua hari sejak Sabtu-Minggu (15-16/10) diadakan kerja sama dengan Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Jateng dengan kedua sekolah itu.

Kendati berpuasa, tidak menjadikan mereka turun semangat mengikuti rangkaian kegiatan yang baru pertama kali itu. Berbagai masalah tentang jurnalistik yang dikupas per materi menarik perhatian mereka. Dari persoalan menentukan lead berita, membuat berita enak dibaca, sampai persoalan menghadapi narasumber yang tidak mau berkomentar.

Pemahaman mereka diperdalam. Setiap selesai mendapatkan materi, panitia dari KDW melakukan evaluasi.

Seperti lazimnya sebuah pelatihan, peserta mendapatkan pengetahuan dasar mengenai jurnalistik. Materi yang diberikan antara lain manajemen keredaksian, desain grafis, tata letak, teknik wawancara, penulisan, penulisan artikel, opini, tajuk, karya fiksi, dan fotografi.

Materi disampaikan wartawan senior berbagai media. Antara lain Wapemred Suara Merdeka H Amir Machmud NS, Pemred Wawasan Sriyanto Saputro, Kepala Biro Kedaulatan Rakyat Isdiyanto, Redaktur Solo Pos Puguh, Redaktur Suara Merdeka M Saronji dan, Fotografer Kedaulatan Rakyat Candra AN

Ketua KDW, Mohammad Saronji menjelaskan, road show yang digelar di dua sekolah itu dimaksudkan membangkitkan semangat menulis di kalangan pelajar. Terlebih generasi mendatang harus membuka diri dengan dunia informasi. (Hasan Hamid-56h)
Baca SelengkapnyaPeserta Bercita-cita Ingin Jadi Wartawan

Dicari Jaksa Gendeng dan Hakim Sableng


SUARA MERDEKA
Senin, 02 Agustus 2004

Penuntasan Korupsi DPRD Jateng (1)

Suara Merdeka, Kamis (29/7), menyelenggarakan diskusi yang membahas penanganan dugaan kasus korupsi di DPRD Jateng. Diskusi itu menghadirkan para praktisi dan pengamat hukum, antara lain Prof Satjipto Rahardjo SH. Berikut liputan mengenai diskusi tersebut yang dilaporkan oleh Agus Toto.

SEBELUM memberikan ''kuliah'' hukumnya, Prof Satjipto Rahardjo SH mengomentari tema diskusi kali ini, yang dia terlibat sebagai salah satu pembicaranya. Dia menilai tema diskusi ambisius.

Ambisius? Bila saat itu forum berhasil menuntaskan kasus korupsi di DPRD Jateng, katanya, maka setelah pertemuan itu akan memberikan perintah atau mandat kepada jaksa untuk membawa kasus itu ke pengadilan.

Padahal, forum itu tidak berada dalam posisi yang demikian. Sejatinya, Prof Tjip, panggilan akrab Satjipto Rahardjo, ingin memberikan pencerahan atas kasus dugaan korupsi DPRD Jateng dari sudut pandang akademis. Secara umum, dia menyebutkan, kasus-kasus korupsi yang sudah demikian besar bisa menumbuhkan saling tidak percaya.

''Kalau atmosfir korupsi sudah begitu tebal, maka akan makin besar ketidakpercayaan di antara kita,'' katanya dalam kalimat yang tegas.

Diskusi itu di ruang sidang Redaksi Suara Merdeka Jl Raya Kaligawe KM 5 Semarang, Kamis (29/7). Topiknya, ''Menuntaskan Dugaan Korupsi DPRD Jateng: Belajar dari Kasus Sumatera Barat''. Sebagai pembicara, selain Prof Tjip, yakni dosen Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Petrus Suryo Winoto, Direktur LBH Padang Alvon Kurnia Palma, dan Joko J Prihatmoko dari KP2KKN. Sebagai moderator, Wapemred Suara Merdeka Amir Machmud NS. Hadir pula kalangan LSM, akademisi, pengusaha, dan wartawan.

Guru besar sosiologi hukum Undip itu seolah-olah sedang memberikan kuliah kepada mahasiswa soal teori hukum progresif untuk memburu koruptor. Penuntasan kasus korupsi tak bisa hanya dengan menjalankan aturan main. Namun butuh hati nurani dan mengubah kultur hukum liberal.

''Harus diakui, tindak pidana korupsi merupakan kasus yang rumit. Sehingga perlu dibentuk tim gabungan. Diperlukan jaksa yang gendeng, hakim yang edan, polisi yang sinting, advokat yang sableng, dan profesor provokator,'' tandasnya, disambut dengan gremengan peserta.

Bukan gendeng, edan, sinting, sableng, dan provokator dalam arti yang negatif. Pemberantasan korupsi memerlukan semua unsur terkait yang tidak hanya melulu bertumpu pada aturan hukum. Tidak hanya bicara masalah supremasi hukum, tetapi juga memobilisasi hukum.

''Peranan perilaku manusia dalam memberantas korupsi begitu penting, sebab ini bukan 'Rinso' yang bisa mencuci sendiri,'' katanya, memberikan joke segar. ''Mudah-mudahan provokasi saya ini bisa menyadarkan mereka,'' katanya, lagi-lagi disambut gremengan hadirin.

Politis dan Hukum

Dan, mobilisasi hukum itu sudah terjadi di Padang yang telah memberikan hasil. Pengungkapan kasus korupsi DPRD Sumatera Barat (Sumbar) butuh proses hingga tiga tahun.

Selama proses menunggu tindak lanjut laporan itu, Alvon dari LBH Padang mengaku menerima teror hampir setiap hari. Ada pula upaya pengalihan persoalan seperti yang terjadi di Jateng dengan kelahiran partai-partai.

Tudingan penyalahgunaan APBD Sumbar 2002 itu dipandang sebagai masalah hukum. Tetapi persoalan itu tampaknya ingin dibawa menjadi masalah politis.

''Awalnya adalah persoalan politis. Penetapan pos anggaran DPRD sebetulnya menjadi proses politik. Namun DPRD kemudian membuat payung hukum yang bernama perda. Saat masalah itu diproses hukum, mereka kembali memasukkan ke proses politik,'' ungkapnya.

Pemerhati politik dari Unika Soegijapranata Andreas Pandiangan SH mengkhawatirkan masyarakat sekarang sudah tidak peduli ada atau tidak kasus korupsi di DPRD. Dalam posisi masyarakat yang demikian itu, dia meyakini kasus korupsi makin merebak.

''Mereka akan makin leluasa menggelembungkan anggaran, karena merasa tidak dipersoalkan. Karena itu, gerakan antikorupsi mendapat tantangan yang cukup besar, apakah mereka masih sanggup untuk terus mengontrol kinerja Dewan, sekaligus mendesak kinerja aparat penegak hukum,'' tandasnya.

Sayangnya, sebelum forum tanya-jawab, Asisten Intelijen Kejati Jateng Zulkarnain SH sudah meninggalkan diskusi. Kontan saja, Direktur LBH Semarang Asep Yunan Firdaus melontarkan kekecewaan kepada kejaksaan.

''Ini menjadi salah satu bentuk ketidakpedulian dan ketidakberanian jaksa atas forum ini. Kalau institusi jaksa sudah tidak ada, saya kira forum ini sudah tidak kontroversial lagi,'' ujarnya.

Dia menuding dalam penyelesaian kasus dugaan korupsi di DPRD Jateng terjadi saling kunci antara jaksa dan koruptor. (33t)
Baca SelengkapnyaDicari Jaksa Gendeng dan Hakim Sableng

Tolok Ukurnya Asas Kepatutan

SUARA MERDEKA
Selasa, 03 Agustus 2004

Penuntasan Korupsi DPRD Jateng (2-Habis)


Tulisan seri kadua ini merupakan hasil diskusi panel bertema ''Mengukur Kepatutan Anggaran Dewan'' yang diadakan Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Provinsi Jawa Tengah di Borobudur Room Hotel Graha Santika, Kamis (29/7).

ARIF Hidayat, pakar hukum dari Undip yang selama ini sering menyorot dugaan korupsi Dewan, mengaku bahwa selama tiga bulan dirinya terpaksa harus menghindar dari wartawan. Hal itu, dilakukan karena dia mendengar apabila stigma terhadap anggota Dewan, ternyata telah menimpa keluarga mereka. Anak-anak anggota wakil rakyat itu ragu untuk sekolah, dan enggan bergaul dengan temannya, karena bapaknya yang terhormat itu diduga korupsi. ''Saya terusik dengan cerita ini. Akhirnya saya menghindar dari teman-teman wartawan. Kalau itu, terbukti karena dosa bapaknya. Kasihan, kan. Bapak polah anak keprabah.''

Perasaan itu diungkapkan Arif Hidayat dalam diskusi panel di Borobudur Room Hotel Graha Santika, Kamis (29/7).

Namun, setelah berpikir ulang dirinya berkeyakinan bahwa pelanggaran yang merugikan rakyat harus diungkap demi kebaikan masa depan bangsa. Persoalan bangsa lebih utama dari sekadar perasaan yang terusik atau persoalan lainnya. Terlebih bola pengungkapan korupsi anggaran Dewan terus menggelinding.

Menurut pendapat dia, apabila mengungkap korupsi Dewan dengan ukuran normatif, maka dugaan korupsi itu sulit dijerat aturan hukum. Karenanya, perlu langkah hukum lain, sebagaimana yang dikemukakan Prof Tjip, panggilan akrab Prof Satjipto Rahardjo SH, tentang perlunya dibentuk tim gabungan yang terdiri atas jaksa gendeng, hakim edan, polisi sinting, advokat sableng, dan profesor provokator.

Memang, lanjut dosen FISIP Undip itu, pemberantasan korupsi membutuhkan semua unsur terkait yang tidak hanya bertumpu pada aturan hukum. Karena itu, dia menilai perlu adanya ukuran yang menjadi etika, dan dasar hukum sosial, yakni berupa asas kepatutan.

Nah, kenapa kepatutan dijadikan satu ukuran ? Menurut pakar hukum administrasi negara itu, karena hukum positif saling tumpang tindih, simpang siur, campur aduk hukum-politik, dan sebagainya. Kepatutan itu bisa didasarkan hukum administrasi negara dan tata negara. ''Hal ini dapat dijadikan landasan, apabila terjadi kekosongan hukum,'' ujar pakar hukum yang mengaku, mempopulerkan aspek kepatutan untuk mengungkap korupsi Dewan.

Asas kepatutan, kata dia, secara sederhana dapat dipahami dengan kepatutan dalam pandangan publik. Sehingga ia berpandangan tentang ''urgensi konsultasi publik''. Dicontohkan, penyusunan APBD, harusnya diawali dengan konsultasi publik.

Dia menyindir menjamurnya korupsi dengan mengatakan, Indonesia negara klektoplasi, negara yang elitnya pencuri semua. Arif mengistilahkan otoriter coruptions. Tapi sekarang demokratic coruption, semua korupsi.

Menurut dia, selagi ada aturan hukum, dapat diungkap dengan azas kepatutan. Ukurannya, melalui konsultasi publik, bisa dilakukan sepenuhnya tekanan publik. Ke depan, katanya, kepatutan harus dituangkan ketika menyusun anggaran, yakni melibatkan stakeholder dalam membuat keputusan.

24 Kasus Korupsi

Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Sudhno Iswahyudi memperkuat pendapat Arif Hidayat. Menurut dia, sesuatu dikatakan melawan hukum, bisa diartikan secara formal dan material. Pengertian melawan hukum material ukurannya adalah kepatutan. Apakah, eksekutif atau legislatif itu melawan hukum yang ini atau tidak.

Sudhono menuturkan, selama ini kejaksaan cukup berpengalaman. Setidaknya dia mencontohkan, ada 24 kasus korupsi Dewan yang sudah disidangkan, dan ratusan kasus serupa yang tengah diproses penyelidikan dan penyidikan. Antara lain, di Padang yang dianggap peristiwa hukum monumental. Di Kalsel, Jabar, Sulawesi Tenggara, Surabaya, dan sebagainya.

Alat bukti melawan hukum yang digunaan jaksa, kata dia, berdasarkan keterangan ahli atau para pakar. Kalau ahli menyatakan, sesuatu dianggap melanggar aturan hukum, terutama melanggar asas kepatutan, maka kejaksaan sudah bisa membawa kasus tersebut ke pengadilan. (Hasan Hamid-69)
Baca SelengkapnyaTolok Ukurnya Asas Kepatutan

Tiap Tahun Golput Cenderung Meningkat

Pemilu 2004
SUARA MERDEKA
Jumat, 5 September 2003

FENOMENA golongan putih (golput) selalu menjadi pembicaraan hangat menjelang pemilu baik di kalangan politikus maupun masyarakat biasa. Meski realitas menunjukkan jumlah golput pada tiap pemilu tidak banyak, pembicaraan masalah itu tidak surut. Bagaimana peluang golput pada Pemilu 2004?

Munculnya golput mendapat porsi tersendiri di tengah masyarakat, karena sebagai gerakan yang menyuarakan sikap politik untuk tidak mendukung partai politik. Sikap itu muncul lebih banyak karena merasa tidak puas terhadap legislatif-eksekutif. Pengertiannya, mereka secara sadar tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu karena skeptisisme terhadap pelaksanaan pemilu. Mereka menilai, pelaksanaan pemilu bukan hanya tidak demokratis melainkan juga menginjak-injak prinsip demokrasi.

Gerakan dari aliran sikap politik ini, ungkap Ketua FPDI-P DPR RI Tjahjo Kumolo SH, mulai muncul pada 1971 yang dipelopori Arief Budiman, Julius Usman, dan Imam Waluyo (almarhum). Pada waktu itu, jumlah golput hanya 6,60%. Jumlah itu lebih rendah dari jumlah golput pada Pemilu 1955 yang 12,34%.

Gejala atau fenomena golput dapat dilihat dari beberapa hal, seperti mereka secara sengaja tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS) atau mereka datang ke TPS tetapi dengan sengaja menusuk lebih dari satu tanda gambar pada kertas suara sehingga dinyatakan tidak sah.

"Bisa juga mereka datang dan yang ditusuk di luar tanda gambar, oleh karenanya dinyatakan tidak sah," jelas Tjahjo saat menjadi narasumber dalam Diskusi Panel "Golput pada Pemilu 2004: Ancaman dan Pencegahannya". Kegiatan tersebut diselenggarkan Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Provinsi Jawa Tengah di Universitas Wahid Hasyim Semarang (Unwahas), Rabu (4/9).

Persoalan golput tidak perlu ditakuti, karena memberikan suara dalam pemilu merupakan hak dan bukan kewajiban. Meski demikian, partai-partai di DPR RI telah mengantisipasi dengan penetapan UU Nomor 12/2003 Pasal 139 huruf a dan b. Dalam pasal itu disebutkan, ancaman pidana akan dikenakan pada orang yang dengan sengaja memengaruhi orang lain menjadi golput.

Di Perkotaan

Kelompok yang memiliki sikap politik untuk golput diperkirakan pengamat politik dari Solo MT Arifin, hanya berada di daerah perkotaan. Adapun mereka yang berada di daerah pedesaan, lebih memilih untuk tetap menyalurkan hak suaranya.

Mereka yang memilih golput disebabkan beberapa faktor, karena skeptis pada perilaku partai dan pemerintah, kecewa kepada pimpinan partai, dan ada yang tidak sengaja golput karena sistem pemilu yang membingungkan.

Untuk kelompok golput yang terakhir tidak dikhawatirkan berpengaruh signifikan, bahkan kalangan itu banyak yang ditarik ikut partai.

Terhadap fenomena golput, KPU tidak bisa berbuat banyak. Hal itu sebagaimana dikatakan salah seorang Presidium KPU Jateng, Dr Ari Pradanawati, sebagai penyelenggara pemilu tak bisa berbuat apa-apa terhadap golput. Di Amerika Serikat (AS), ada juga yang tak menggunakan haknya dalam pemilu.

Tahapan pemilu yang disusun oleh KPU sangat jelas, karena dikemas aturan UU. "Saya pikir 50% yang golput pun, tak masalah dan pemerintahan (yang terbentuk) tetap sah."

Pada proses pemilu, bila ada pelanggaran administratif maka dilaporkan ke KPU. Namun jika pelanggaran lain, kepada Panwas Pemilu.

Yang dilakukan KPU adalah menyosialisasikan agar masyarakat menggunakan hak politiknya. Namun, upaya seperti itu hak personel KPU, orang-orang di parpol juga memiliki tanggung jawab yang sama, terutama menyosialisasikan kepada konstituennya dan masyarakat.

Pada Pemilu 2004, diprediksikan angka golput akan mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Peningkatan itu ditandai dengan peningkatan jumlah masyarakat yang kecewa terhadap partai politik. Meski prediksi itu belum bisa jadi pegangan, perilaku politik dari semua partai saat ini patut jadi pertimbangan. Masyarakat melihat realitas hampir semua partai mengalami ketegangan internal. PPP dengan PBR, PKB dengan Pekade, Partai Golkar terjadi keributan internal, sama juga di PDI-P.

Kendati menghadapi realitas seperti itu, sosiologi UGM Dr Nasikun memprediksikan kenaikan angka golput tidak signifikan. Dengan mendasarkan sejarah, pada setiap pemilu jumlah golput tidak lebih dari 12,34 %. Terlebih masyarakat yang memilih golput lebih banyak di perkotaan, sedangkan masyarakat Indonesia sebagian besar masih tinggal di pedesaan. (Hasan Hamid-78j)
Baca SelengkapnyaTiap Tahun Golput Cenderung Meningkat

Kawal sejak Awal, Jangan Setelah Jadi Buku (RAPBD/APBD)


SEMARANG- Partisipasi publik selama ini masih ada kesan hanya jargon pemerintah. Seringkali partisipasi tersebut hanya sebatas formalitas dan tidak menyentuh substansi. Akibatnya, walau dalam proses penyusunan anggaran juga menjaring aspirasi masyarakat, itu sebatas menggugurkan kewajiban.

''Karena itu, ke depan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang mungkin berdampak terhadap masyarakat harus melalui mekanisme konsultasi publik terlebih dulu sebelum diputuskan,'' ungkap Koordinator Badan Pekerja (BP) Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jateng Muhadjirin SH.

Dia menyampaikan hal itu dalam silaturahmi dan dialog interaktif ''Menyinergikan antara Eksekutif, Dewan, Pers, dan Masyarakat yang digelar Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Provinsi Jateng di Gedung Pers Jalan Tri Lomba Juang 10 Semarang, Kamis (30/9). Selain Muhadjirin, tampil sebagai pembicara adalah YMT Kepala BIKK Jateng Soedianto (mewakili Wagub), anggota DPRD Jateng dari PDI-P Drs HM Supito MM, dan dosen Komunikasi Undip Drs Amirudin MA.

Ketua KDW Provinsi Jateng Mohammad Saronji mengatakan, kegiatan tersebut untuk menjalin tali silaturahmi antarelemen terkait. Selain itu, juga untuk lebih menyinergikan peran, fungsi, dan tugas lembaga legislatif, eksekutif, pers, dan publik. Dengan demikian, diharapkan ke depan tidak akan terjadi lagi kasus-kasus yang menimpa lembaga Dewan seperti yang terjadi belakangan ini.

Sejak Penyusunan
Diakui atau tidak, keterpurukan citra lembaga legislatif periode 1999-2004 salah satu faktornya adalah karena keterputusan komunikasi politik. Padahal, komunikasi itu sangat penting dalam rangka membangun opini publik yang antara lain dapat dilakukan lewat media massa, ujarnya.

Menurut penuturan Muhadjirin, pengawasan terhadap anggaran bisa dilakukan sejak dalam tahap penyusunan dan saat pelaksanaan.

Membangun sinergi antara legislatif, eksekutif, pers, dan publik, dalam pandangan masyarakat harus dimaknai sebagai bentuk kontrol penyelenggaraan pemerintahan.

Dia juga berharap pada Dewan yang baru secara kelembagaan, ada proses transparansi dan akuntabilitas anggaran.

''Selama ini kami tidak tahu bagaimana bentuk pertanggunggungjawaban pada publik atas penggunaan anggaran itu. Bahkan, selama ini juga tidak ada anggota Dewan yang ditunjuk sebagai juru bicara dan berkomunikasi dengan masyarakat,'' papar dia.

Pembicara lain, Supito, pada awal paparannya banyak ngudarasa menyangkut mekanisme penyusunan anggaran. Dalam proses penyusunan angggaran, ujar dia, ketika ada Biro Pemerintahan Desa aspirasi dibawa dari desa ke kabupaten/kota, digelar rakorbang, dibahas di Bappeda kabupaten/kota, dan dinaikkan ke provinsi. ''Akan tetapi, sekarang ada perbedaan.''

Menurut pandangan dia, pengawalan anggaran semestinya sejak di Rakorbang. ''Jangan di komisi, itu jelas terlambat,'' tandas mantan Ketua Komisi C (Bidang Anggaran) DPRD Jateng periode 1999-2004 tersebut.

Karena itu, pihaknya mengajak semua elemen masyarakat untuk mengawal anggaran tersebut sejak awal. ''Mari kita kawal sejak awal, jangan setelah jadi buku (RAPBD/APBD).''

Dosen Komunikasi Undip Drs Amirudin MA berpendapat, opini memiliki kekuatan yang luar biasa. Opini memiliki hubungan paralel dengan reputasi dari sebuah lembaga.(G7-78j)

Sumber: Suara Merdeka, 1 Oktober 2004
http://www.antikorupsi.org/id/content/kawal-anggaran-jangan-setelah-jadi-buku
Baca SelengkapnyaKawal sejak Awal, Jangan Setelah Jadi Buku (RAPBD/APBD)

Mamet pegang senjata

Mamet pegang senjata

FGD

FGD