Minggu, 07 Juli 2013

Perempuan dan Media Massa


DARI sekitar 18 wartawan Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Jawa Tengah yang hadir pada Diklat Jurnalisik bersama Unnes 11-12 Juli lalu, hanya 3 wartawan perempuan yang hadir. Selebihnya, baik wartawan, redaktur, maupun fotografer yang hadir adalah laki-laki.
Perbandingan wartawan laki-laki dan perempuan di KDW bisa jadi menggambarkan perbandingan seluruh wartawan media cetak Indonesia. Bahkan, sangat mungkin jumlah itu merepresentasikan perbandingan wartawan di Indonesia.
Tesis ini sejalan dengan fakta yang disajikan Tri Marhaeni dalam buku Sosilogi Gender (Unnes Press, 2008), yang menyatakan dominasi pria pada industri media bukan hanya dalam peran, tapi juga jumlah. Ia mencatat, dari 1.161 wartawan di sepuluh media cetak terkemuka di Indonesia, termasuk Suara Merdeka, hanya 10,94 persen jurnalis perempuan.
Sebagai ujung tombak media, jurnalis sangat menentukan perspektif media dalam memandang sebuah persoalan. Meski media berusaha menempatkan diri sebagai industri yang progender, perspektifnya masih didominasi perspektif laki-laki.
Tidak bisa dipungkiri, media di Indonesia telah berkembang menjadi male industry. Bukan hanya karena jumlah pekerja media laki-laki terlalu dominan, tapi juga karena pembagian peran di media masih ada yang bias gender. Laki-laki misalnya, ditempatkan di rubrik utama, sedangkan perempuan di rubrik tambahan (suplemen). Bahkan jika dipetakan bidangnya, laki-laki lebih berperan di pemberitaan bidang politik, ekonomi, dan sosial, sedangkan perempuan di bidang kuliner, griya, atau fashion.
Harus diakui media punya peran besar dalam menentukan bahkan mengubah persepsi masyarakat. Meski Jalaludin Rahmat (Tempo, Februari 2009) mengatakan media tak dapat difungsikan sebagai khotbah, kenyataan membuktikan kebenaran persepsional masyarakat seringkali berkiblat pada media. Akibatnya, persepsi masyarakat ditentukan oleh media, termasuk dalam memberikan citra cantik pada perempuan.
Masalahnya kemudian, karena media adalah sebuah industri, maka citra perempuan yang dibentuk media juga dibentuk oleh industri. Ketika industri menginginkan perempuan dilekatkan dengan citra tertentu maka akan dibentuk dengan sedemikian rupa. Jika lain waktu industri punya kepentingan lain, dan merasa perlu mengubah citra perempuan, ia akan kembali mengubahnya.
Cantik dalam iklan
Hubungan citra perempuan dan media sebagai sebuah industri sangat lekat pada iklan kosmetik atau produk lain yang menyasar konsumen perempuan. Mereka membangun persepsi perempuan cantik dengan sedemikian rupa supaya produknya laku di pasaran. Hal itu dilakukan secara berkala sesuai jenis produk yang akan diluncurkan.
Pada tahun 1970-an perempuan cantik diidentikan dengan Marlyn Monroe. Memiliki tubuh padat, rambut ikal, kulit mulus, dan hidung mancung.
Marlyn Monroe adalah ikon selebritas pada masa itu, yang mewakili kegemerlapan dunia film dan fashion. Dengan membentuk citra bahwa Marlyn Monroe cantik, industri film dan fashion memiliki kepentingan untuk memasarkan produknya. Indsutri film dan fashion berharap peempuan lain di dunia berusaha mengidentikan diri dengan Marlyn Monroe supaya dianggap cantik.
Citra perempuan cantik berubah pada tahun 2000-an, seiring munculnya Dian Sastrowardoyo sebagai ikon kecantikan di Indonesia. Saat itu perempuan yang dianggap cantik adalah perempuan yang memiliki tubuh ramping, tinggi, dan berambut panjang dan lurus. Perubahan citra ini punya kaitan erat dengan selera fashion saat itu, termasuk dengan produk kecantikan yang menggunakan Dian sebagai ikonnya.
Lima tahun kemudian, citra cantik kembali mengalami pergeseran dari kecantikan yang sifatnya harfiah pada kecantikan yang lebih esensial. Cantik, pada masa itu diidentifikasi sebagai pribadi yang sehat dan bisa menikmati hidup. Jika ditanggapi secara skeptis, citra ini punya kaitan erat dengan tren makanan organik yang booming pada saat itu.
Dari masa ke masa, karakter khas yang diidentikan dengan perempuan cantik adalah kulit yang halus dan mulus. Citra ini sengaja dilekatkan oleh produsen produk pemutih kulit dengan harapan perempuan Indonesia mau menggunakan produknya. Dan nyatanya memang begitu. Jutaan perempuan tersihir dengan citra itu. Mereka ramai-ramai membeli produk pemutih kulit, krim, lulur, masker, krim dan sebagainya supaya terlihat cantik. Padahal konon kecantikan wanita Indonesia sohor hingga mancanegara salah satunya karena kulitnya yang coklat.
Konsep cantik yang dirumuskan produsen kosmetik melalui media adalah konsep yang penuh selubung kepentingan. Karena itulah konsep itu semu dan bisa berubah kapanpun. Jika suatu saat produsen kosmetik menganggap produk penghitam kulit lebih potensial mendatangkan keuntungan, bisa jadi citra cantik akan berbalik 180 derajat.
Pembentukan citra, yang dalam bahasa sosiolog Kadarisman (2003) disebut sebagai proses labeling, memang sulit dihindari. Apalagi jika peran media sebagai sumber informasi semakin mendominasi. Namun dengan berpikir lebih kritis dan sekptis akibat labeling bisa dikurangi. Perempuan cantik, toh tak selalu identik dengan model iklan atau pemain sinetron. Cantik adalah sehat jasmani dan rohani, cerdas, punya kepribadian, dan bahagia. Brain, beauty, dan behavior.

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara di Banjarnegara
http://rahmatpetuguran.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mamet pegang senjata

Mamet pegang senjata

FGD

FGD