Minggu, 14 Juli 2013

Kekerasan Massa Parpol Karena Pendidikan Politik Gagal

SUARA MERDEKA
Kamis, 30/05/02 : 23.34 WIB - Semarang Aktual


Semarang, CyberNews. Kekerasan massa partai politik (parpol) yang kerap terjadi merupakan cermin kegagalan atau belum berhasilnya pendidikan politik pada rakyat dan pendukung masing-masing partai. Kalau pendidikan politik berhasil, tentu tidak akan terjadi kekerasan yang dilakukan massa/simpatisan partai tertentu terhap
kelompok lainnya.

"Munculnya kekerasan massa partai karena partai secara keseluruhan gagal dalam mendidik kadernya. Ini kegagalan parpol secara kesleuruhan," kata Sukirman dari Partai Rakyat Demokratik (PRD) dalam diskusi interaktif bertema "Fenomena Kekerasan Massa Partai, Belajar dari Kasus 20 Mei," di Hotel Santika Semarang, kemarin.

Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Provinsi Jateng. Pembicara lainnya, Mahfudz Ali SH MSi (Purek III Unissula), H Sriyono (Ketua DPC PDI-P Kota Semarang), Kapoltabes AKBP Drs Noer Ali, Sasongko Tedjo SE MM (Ketua PWI Jateng), dan Hadi Santoso (BEM Undip). Sebagai moderator Puguh Tri Sadono (wartawan Solo Pos).

Kirman menambahkan, di era reformasi masing-masing parpol hendaknya menjunjung tinggi demokrasi. Kakarasan massa partai jangan sampai terjadi. "Kalau memang memiliki jiwa demokrasi yang tinggi, walau 'dipancing-pancing' pasti tidak akan terpengaruh. Melakukan kritik terhadap pemerintah adalah hak setiap warga
negara.
Presiden Megawati sekarang tidak hanya milik PDI-P, tetapi sudah menjadi milik seluruh rakyat Indonesia," ujarnya. Ketua PWI Jateng Sasongko Tedjo SE MM berpendapat, diskusi tersebut sangat penting. Karena melalui forum itu diharapkan ada penyelesaian berkaitan dengan masalah kekerasan massa partai.

"Kalau tidak pernah dibicarakan kapan masalahnya selesai," tuturnya. Menurut Sasongko dalam kasus pemukulan aktivis mahasiswa dan wartawan saat ada demo di bundaran air muncrat Jl Pahlawan Semarang sebenarnya yang menaruh peduli PDI-P. Namun, pengurus partai itu justru kurang cepat dalam menanggapi kasus
tersebut.

Ia menambahkan, pemberitaan di media massa atas kasus itu sama sekali jauh dari tendensi ingin menelanjangi PDI-P. "Yang kita tentang pada aspek kekerasan massa partai. Ke depan demokrasi di Indonesia harus ditegakkan, termasuk peran pers yang bebas dan bertanggung jawab." Wapemred Suara Merdeka itu mengakui, sampai sekarang sosialisasi kebebasan pers belum selesai. Sehingga, masih terjadi kekerasan terhadap wartawan. Padahal, wartawan dalam menjalankan tugas profesinya dilindungi
undang-undang.

Sementara itu Datsatgas dan Ketua DPC PDI-P Kota Semarang, H Sriyono, selaku pribadi turut prihatin berkaitan dengan insiden pemukulan terhadap dua anggota LMND dan wartawan saat meliput kegiatan demontrasi Senin 20 Mei 2002 lalu. "Satgas PDI-P tidak terlibat dalam pemukulan itu. Hal ini karena tidak ada satupun massa
yang melakukan bentrok menggunakan atribut Satgas PDI-P."
Namun ia mengakui sebagian besar mereka adalah massa dan simpatisan PDI-P.
Mereka melakukan reaksi secara spontan karena pengunjuk rasa telah melakukan penghinaan kepada Mega yang dirasa sangat melecehkan dan menginjak-injak harga diri PDI-P.

"Massa PDI-P tidak pernah melakukan kekerasan pada mahasiswa, apalagi terhadap mahasiswa Undip atau lainnya. Yang dilakukan oleh massa PDI-P adalah membela diri atas perilaku ormas atau LSM yang beratribut LMND yang notabene kepanjangan tangan
PRD. Jadi, sangat tendensius kalau sementara ini dalam setiap pemberitaan di media massa, PDI-P dikatakan telah melakukan tindak kekerasan pada mahasiswa," tandasnya.

Dalam sambutannya, Ketua KDW Isdiyanto menyatakan kekerasan massa partai yang terjadi 20 Mei lalu hendaknya yang terakhir. Kedepan semua pihak agar mengedepankan nilai-nilai demokrasi, menghargai perbedaan, dan bisa menerima kritik. Dengan
demikian, peristiwa memilukan tersebut tidak perlu terjadi lagi.

Ia menambahkan, KDW tidak melakukan pemboikotan berkaitan dengan kasus tersebut. Karena hal itu tidak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, justru masyarakat dirugikan karena akan kehilangan informasi yang dibutuhkan. Pertimbangan lainnya, kalau wartawan melakukan pemboikotan sama saja dengan melakukan politik praktis.
Padahal, wartawan mestinya mengedepankan sikap independen dan objektifitas. "Saya kira dalam kasus ini, wartawan sebagai pelayan masyarakat tetap terjaga, dan proses hukum jalan terus," katanya. Kapoltasbe AKBP Drs Noer Ali mengaku, sampai sekarang proses penyidikan kasus itu masih jalan terus. Berdasarkan keterangan
saksi-saksi dan foto-foto di lapangan, patut diduga sejumlah orang sebagai pelaku pemukulan. Ia menambahkan, polisi ingin segera menyelesaikan kasus tersebut secara tuntas. Namun, masih menemui kendala. Misalnya, dua korban mahasiswa sampai sekarang belum bersedia dimintai keterangan. (Waa/Cn08)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mamet pegang senjata

Mamet pegang senjata

FGD

FGD