Minggu, 14 Juli 2013

Pilkada Tak Perlu Biaya Mahal

PILKADA LANGSUNG: Farid Abdul Hadi, HM Supito, Puguh Tri Sadono, Joko J Prihatmoko, dan Wijaya dalam seminar ''Pilkada Langsung dan Prospek Demokratisasi di Daerah''.(55) - SM/Setiawan HK

PATI - Besar kebutuhan anggaran untuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung di sejumlah kabupaten/kota mendapat perhatian serius Gubernur H Mardiyanto. Menurut pendapatnya, meski harus diakomodasi APBD, tetapi perlu mengukur kemampuan anggaran daerah.

Apabila biaya penyelenggaraan pilkada melebihi kemampuan APBD di suatu daerah, jelas Gubernur, justru menjadi sebuah ironi. Karena tidak mustahil anggaran daerah tersedot habis untuk biaya pilkada dan setelah kepala daerah dan wakilnya terpilih justru tidak dapat melakukan kegiatan pembangunan karena tidak ada anggaran.

''Hal ini harus diperhatikan betul. Karena itu, dalam menyusun anggaran harus tetap mengedepankan aspek kemampuan keuangan daerah, efisiensi, dan kesederhanaan,'' kata Gubernur Jateng H Mardiyanto saat menjadi keynote speaker dalam seminar bertema ''Pilkada Langsung dan Prospek Demokratisasi di Daerah''. Kegiatan di aula Bakorlin I di Pati, Senin (13/12), diselenggarakan Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Provinsi Jateng bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Semarang.

Seminar menghadirkan narasumber Drs HM Supito MM (politikus), Drs H Ahmad Farid MA (Wakil Ketua DPRD Pati), Wijaya SH MH (Dekan FH Untag), Drs Joko J Prihatmoko (peneliti dan anggota KPU Kendal), dan dimoderatori Puguh Tri Sadono (redaktur Solo Pos).

Sebelumnya Rektor Untag St Sukirno dan Ketua KDW M Saronji dalam sambutannya mengurai momen pilkada langsung dan persoalan usulan anggaran yang cukup besar dari para penyelenggara.

Gubernur H Mardiyanto memberikan contoh sederhana penyelenggaraan pilkada langsung yang demokratis tetapi murah, yaitu dengan mengadopsi pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades). Jika diasumsikan setiap pilkades menghabiskan biaya antara Rp 5 juta - Rp 10 juta, maka di suatu daerah kabupaten/kota dengan 200 desa/kelurahan, berarti membutuhkan biaya antara Rp 1 miliar - Rp 2 miliar.

Tetapi kalau yang digunakan adalah standar pengalaman klasik, yaitu pemilu legislatif dan pilpres, akan lebih mahal. Tentu yang terlibat kegiatan tersebut, yaitu KPUD dan elemen masyarakat lainnya, memiliki semangat memakai falsafah kesederhanaan dalam demokrasi penentuan biaya. Dengan demikian, perlu mempertimbangkan kemampuan anggaran daerah masing-masing.

Pergeseran

HM Supito mengungkapkan, saat ini telah terjadi pergeseran yang menyebabkan peran parpol menjadi kecil dalam pilkada langsung. Sebaliknya, figur seorang calon justru menjadi tolok ukur kuat untuk keberhasilan yang bersangkutan dalam pemilihan. ''Bisa jadi kalau Mayangsari mencalonkan diri sebagai bupati Banyumas akan menang,'' ujarnya.

Farid Abdul Hadi lebih banyak mengungkap tentang pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh siapa, DPRD atau panwas pilkada. Menurutnya, DPRD bisa menjadi pengawas secara umum dan berusaha mewujudkan dirinya sebagai pengawas yang baik, meski secara tidak langsung masing-masing anggotanya adalah tangan panjang partai. (G7,H1,ad-58t)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mamet pegang senjata

Mamet pegang senjata

FGD

FGD