Jumat, 12 Juli 2013

Dari Diskusi Kedungombo Pembentukan Komite Pemberdayaan Masyarakat Terhambat


Semarang, Kompas - Perjuangan warga Kedungombo, Jawa Tengah (Jateng) untuk menyelesaikan kasus Kedungombo ternyata tidak berjalan mulus. Keinginan warga mewujudkan forum independen Komite Pemberdayaan Masyarakat Kedungombo, guna penyelesaian kasus Kedungombo, mengalami hambatan. Ada kelompok tertentu dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang menginginkan masalah Kedungombo tidak selesai.Hingga saat ini, pembentukan Komite Pemberdayaan Masyarakat Kedungombo belum terwujud, karena masih ada keraguan kelompok masyarakat untuk menempuh jalan penyelesaian melalui forum independen tersebut.
Hal ini jelas terlihat dari Diskusi Kedungombo Babak Kedua yang diselenggarakan Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Jateng, Rabu (24/10) di Gedung Serba Guna DPRD Jateng. Diskusi dihadiri wakil warga Kedungombo dari tiga kabupaten (Boyolali, Sragen dan Grobogan), yakni Paguyuban Warga Kedungombo (PWK), Warga Korban Kedungombo/Forum Perjuangan Rakyat Kedungombo (FPRK), Serikat Warga Korban Kedungombo (SWKKO).

Selain itu hadir juga, LSM pendamping warga Kedungombo seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, LSM Sari Solo, LBH Yogyakarta, dan LP3M-SMRB Boyolali. Dari DPRD Jateng hadir antara lain Drs Noor Achmad MA (Komisi A) dan Bona Ventura SH (Komisi D), dan dari perguruan tinggi, Dr Nasikun (Sosiolog UGM), Drs Aris Mundayat (Antropolog UGM), dan Tri Kadarsilo (UKSW) serta Kepala Bappedal Jateng, Mohammad Saleh.

Pada diskusi ini masing-masing kelompok warga Kedungombo, LSM pendamping, Dr Nasikun menyampaikan konsep pemikiran penyelesaian masalah Kedungombo. Sayangnya, pada akhir pertemuan tidak ada titik temu yang jelas mengenai formulasi penyelesaian kasus Kedungombo.

Pada satu sisi WKKO/FPRK mendukung dibentuknya tim kecil atau "panitia sementara" untuk merumuskan Komite Pemberdayaan Warga Kedungombo. Sedangkan PWK, belum sepakat dan minta pembentukkan tim kecil ditunda sampai ada musyawarah warga yang tergabung dalam PWK. Diskusi diakhiri dengan kesepakatan melanjutkan diskusi tanggal 1 November 2001. Diharapkan sesudah diskusi berikutnya bisa dibentuk tim kecil untuk merumuskan konsep pembentukan Komite Pemberdayaan Masyarakat Kedungombo.

Sebelumnya, Hartono dari LP3M-SMRB Boyolali mempertanyakan apakah komite yang akan dibentuk bisa diterima masyarakat bawah atau tidak. Ia juga mempertanyakan, apakah pemerintah memiliki hati nurani dalam menyelesaikan kasus ini, Tetapi, latar belakang pernyataan itu tidak disampaikan dengan jelas. Bahkan, ada Anggota LP3M yang lain, yang menyatakan forum diskusi belum merupakan representasi dari warga Kedungombo.

Paradigma baru

Dr Nasikun, menyatakan pembentukan dan penyusunan agenda kegiatan Komite Pemberdayaan Masyarakat Kedungombo, dilakukan di atas landasan, aplikasi "paradigma baru pembangunan" yang memberikan tempat yang sangat penting pada partisipasi dan kemitraan yang seimbang antara semua pihak.

Diakuinya, perjuangan yang dilakukan warga Kedungombo berbeda-beda, karena masalah dan tuntutannya berbeda. Berangkat dari perbedaan itulah, perlu dibentuk komite pemberdayaan untuk merumuskan penyelesaian kasus Kedungombo.

"Kita jangan berpegang pada prinsip 'pokoknya' tetapi bagaimana mencari penyelesaian, tanpa memaksakan dan merugikan kepentingan yang lain. Penyelesaian ini tergantung kita semua, bagaimana mengatur sehingga menjadi konfigurasi bersama," ujar Nasikun yang menawarkan metode penyelesaian dengan pendekatan kesejahteraan dan keadilan.

Sedangkan Tri Kadarsilo mengusulkan komite harus melibatkan masyarakat yang selama ini menikmati air Waduk Kedungombo. "Teman-teman yang dari bawah mestinya tahu, mereka menikmati irigasi dengan mengorbankan warga Kedungombo. Ini yang perlu dipikirkan mereka," ujarnya.

Paris Rajanto, Koordinator WKKO/FPRK menawarkan tiga pokok pikiran yakni mekanisme peran dan fungsi komite, prinsip penyelesaian dan mekanisme kontrol. Komite ini harus terbuka dan menyerap aspirasi sebanyak-banyaknya dalam rangka penyelesaian kasus Kedungombo, dan semua anggota komite punya hak yang sama.

"Supaya komite mempunyai kekuatan hukum, perlu adanya Surat Keputusan Gubernur. Komite ini harus dipimpin oleh presidium yang anggotanya mewakili semua unsur," ujar Paris yang sempat mengkritik keberadaan sebuah LSM yang dinilainya tidak jelas posisinya. (son)

http://kompas.com/kompas-cetak/0110/25/JATENG/pemb26.htm
Kamis, 25 Oktober 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mamet pegang senjata

Mamet pegang senjata

FGD

FGD